Mencintai Hantu

Well, catatan ini mungkin jadi yang paling berat untuk saya tulis. Beberapa ide di tulisan ini masih tertutup kabut ego. Ide tentang mencintai Ibu, ya Ibu. Bagaimana mencintai seseorang yang telah melahirkan kita ke dunia. Loh, bukannya itu otomatis? Cinta Ibu kepada anaknya otomatis, namun anak kepada Ibunya tidak selalu mudah. Disebabkan karakter orang tua yang mungkin keras, susah diajak bicara, dan membiarkan anaknya sendirian menghadapi dunia.

Ada orang tua seperti itu? Ada.

Simbah adalah contoh terbaik. Memang untuk urusan makanan, Simbah benar-benar memperhatikan. Tidak satu kali pun saya pernah merasa kelaparan. Putra-putrinya pun diusahakan agar tetap bisa makan bahkan dibiayai hingga kuliah. Namun, Simbah adalah salah seorang pewaris pemikiran pasca kolonial. Pemikiran orang yang terpikat oleh hal-hal bersifat penghargaan, kehormatan, dan kedudukan. Hal itu juga yang membuat Bapak dan Ibu dulu sulit mengikat tali pernikahan.

Ibu, adalah contoh orang tua yang pasif dan egois. Ibu lebih banyak memikirkan dirinya sendiri ketimbang orang lain. Banyak sekali momen-momen mendesak namun Ibu masih berpegang pada aturan yang dibuatnya sendiri. Beliau juga tidak berusaha mencari nafkah sendiri, bahkan saat sudah memiliki anak. Secara moral beliau juga memberi contoh yang kurang baik, terutama dalam hal bersikap menghormati orang tua.

Sampai saya berusia sepantaran anak SMA ada seorang lelaki di rumah, yakni Simbah Kakung. Beliau bisa dibilang numpang di rumah Simbah. Antara Simbah Putri dan Simbah Kakung sejak saya kecil sudah pisah ranjang. Simbah Putri dan Simbah Kakung pun tidak pernah terlihat akur dan bercanda satu kali pun. Bahkan Simbah Putri membentak-bentak Simbah Kakung ketika memperlihatkan diri di bagian depan rumah. Mereka hanya terlihat duduk bersama saat ada tamu.

Kini kehidupan kami berbeda, Simbah Kakung telah meninggal, Ibu dan Simbah juga semakin berkurang daya fisiknya. Jadi, saya benar-benar merasa tidak memiliki hidup seperti orang pada umumnya. Tidak saya pungkiri hampir setiap menit pikiran-pikiran yang ingin berpindah hidup dengan orang lain selalu muncul. Dalam beberapa hal saya memang berbeda, namun tidak bisa dibilang kalau saya lebih rendah atau tinggi taraf hidupnya dibandingkan dengan orang lain.

Perasaan iri begitu kuat memengaruhi pikiran saya.

Hingga sekarang saya masih mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan keluarga. Menepis semua pikiran-pikiran buruk yang ingin mengingkari Ibu dan Simbah. Berusaha memaafkan sikap anggota-anggota keluarga lain kepada Ibu dan saya, yang memandang sebelah mata. Tekanan-tekanan dalam keluarga itu membuat saya merengek sekaligus terpacu. Walaupun beberapa tahun ini saya lebih banyak merengek, karena pikiran-pikiran pesimistis hadir memenuhi ruang psikologis.

Ketika saya mulai sadar tentang ketidakabadian, logika saya sedikit berubah. Ada kata-kata bijak dari buku komik berjudul Vagabond agar jangan mempertautkan hati pada apa pun. Saya pikir itu cara praktis agar tidak terlalu sakit saat kehilangan seseorang atau sesuatu. Tidak ada jaminan seseorang akan menerima walaupun saya memberikan hati sepenuhnya. Lebih baik mencintai seperlunya dan sadar: segala yang ada di depan saya adalah sementara.

Termasuk juga dalam mencintai orang-orang di keluarga saya.

Saya sulit memaafkan, bukan karena membenci, tapi karena terlalu mencintai mereka. Harapan saya terlampau besar kepada mereka. Pada dasarnya itu sedikit menggambarkan sifat manja dan terlalu menggantungkan bantuan orang lain. Sifat yang diturunkan oleh Ibu saya yang menggantungkan hidupnya sampai sekarang kepada Simbah. Sejak kecil saya tidak diajarkan pula untuk berusaha sendiri mewujudkan apa yang ada dalam keinginan.

Ya tapi terus-terusan mengeluhkan masa lalu tiada guna.

Alhamdulillah saya sadar bahwa keinginan adalah sesuatu yang penting. Setidaknya itu memberikan saya optimisme masih ada yang bisa diperjuangkan. Masih ada yang berarti dalam hidup saya. Keinginan tidak mutlak harus dituruti namun tetap harus diusahakan. Keinginan menikah salah satunya dan itu pintu gerbang perubahan dalam hidup saya. Setidaknya saya tidak lagi berurusan dengan ‘keluarga yang kemarin’. Ibu dan Simbah juga mungkin tidak akan bersikap seposesif sekarang.

Tentang ketidakabadian, saya sadar hidup orang tua adalah tidak selamanya.

Itu membuat saya sedikit terbuka terhadap apa pun kesalahan mereka. Kesadaran bahwa diri ini suatu saat juga akan mati, ikut mengubah logika saya. Sadar kalau tidak secepatnya membuka hati, diri saya keburu mati. Terlalu sayang waktu yang saya habiskan untuk memikirkan kesalahan orang lain. Lebih sayang lagi apabila setelah ini saya terus mempertahankan sikap itu. Kebiasaan negatif itu tidak membuat saya lebih maju.

Logis apabila saya membenci orang-orang di keluarga saya. Sejak kecil saya diperlakukan berbeda. Saat dewasa baru saya tahu alasan mereka: lantaran saya mirip dengan Bapak. Bisa dibilang track record Bapak di keluarga saya ‘kurang’ baik. Bukan hanya karena bercerai, sebab masalah hubungan Ibu dan Bapak benar-benar menyisakan luka besar. Kebutuhan saya untuk dimanusiakan benar-benar tidak terpenuhi selama bergaul dengan keluarga Simbah.

Tidak ada prestasi saya yang mendapatkan selamat. Kebaikan saya tidak pernah dilihat, sementara kesalahan walaupun hanya datang terlambat selalu mendapat hujat. Jika memang keluarga paham arti menjadi manusia: tempatnya salah dan lupa, pastinya saya takkan mendapatkan sikap seperti itu. Mereka gelap mata karena melihat saya seperti kedua orang tua saya. Ibu dan Bapak yang tidak bertanggungjawab.

Atas sikap generalisir itu saya menentang keluarga.

Saya tidak mau mencintai dengan syarat. Pola itu saya kembangkan sejak dulu. Sekarang itu yang saya usahakan kembali setelah kemarin prinsip itu berubah: mencintai dengan syarat. Saya tidak mau kehilangan diri saya lagi. Itu lebih berharga dari siapa dan apa pun. Jati diri itu yang mengantar saya pada iman. Kehilangan itu berarti menghalangi jalan iman untuk datang. Ya meskipun saya sadar mempertahankan jalan itu begitu berat.

Jadi pertama saya berusaha mencintai Ibu.

Sekitar tahun 2014 sutradara kenamaan Christopher Nolan mengeluarkan sebuah film masterpiece berjudul Interstellar. Film itu menceritakan seorang ayah yang pergi ke galaksi lain demi menemukan tempat pindah penduduk bumi. Sebuah misi yang mungkin membuat sang ayah pergi selama-lamanya. Ternyata memang sang ayah baru pulang ketika sang anak beranjak sangat tua. Akhir dari film ini adalah penduduk bumi mendapatkan tempat baru untuk tinggal.

Ada satu kalimat yang saya ingat betul dari film itu: orang tua hanya akan jadi hantu bagi anak-anaknya.

Kalimat itu benar-benar menelusup di sela-sela kesadaran saya. Menepis semua keinginan untuk membantah. Sebuah kesadaran yang terbentuk di kepala saya: ibu suatu saat akan meninggal. Waktu menonton film itu Bapak belum mangkat. Namun tidak saya pungkiri berkat film itu keinginan bertemu Bapak jadi membesar. Saya tidak mau bertemu Bapak ketika beliau sudah meninggal. Namun waktu pun berjalan dan saya masih saja sibuk dengan diri sendiri.

Sekarang apa yang ada di depan saya adalah Ibu dan adik-adik. Demi mereka saya ingin mempersembahkan yang terbaik. Saya tidak ingin mengecewakan mereka, meskipun mungkin hal itu pada suatu titik tidak mungkin dihindari. Hantu-hantu itu ingin saya cintai tanpa begitu-begini. Mereka yang sudah sepuh dan tinggal menunggu mati. Kejam? Menurut saya tidak, sebab kita atau mereka pada akhirnya akan berpisah.

Mau berpisah seperti apa itu tergantung saya. Berpisah baik-baik atau masih menyisakan dendam tergantung bagaimana diri saya. Kenyataannya tidak mungkin lari dari itu semua. Hal yang terpenting bukanlah bagaimana kita mengawali, tapi mengakhiri. Sebelum berakhir tiba-tiba, sebaiknya saya sudahi masa penuh dendam dan kesedihan ini. Tidak ada ruginya bila memaafkan, sebab pada akhirnya kebencian hanya akan meninggikan keegoisan.

Tenanglah, semua akan bertemu pada akhirnya.

 

Perpustakaan UNS, 24 Mei 2017

Leave a comment