Raeshita 3: Idolization

A secret I’ve kept locked away no one can ever see…

Setiap kehidupan adalah anugerah dan setiap jiwa adalah misteri. Hanya manusia mahkluk di bumi yang mampu membuat sejarah. Mengamati alam, perubahan demi perubahan. Memanfaatkan hukum-hukumnya untuk bertahan hidup. Manusia membangun peradaban meskipun tahu semua karyanya akan ditinggalkan. Dimanfaatkan manusia lain dengan niat baik atau jahat. Jika bukan karena cinta, mustahil manusia mau membangun sesuatu yang suatu saat akan ditinggal.

Cinta tahu kapan harus melepas, ego hanya tahu bagaimana memiliki.

Memenangkan ego sudah menjadi kebiasaan saya. Setiap kali gagal menjalin tali kasih, alih-alih menerima saya mencari pelarian, pelampiasan. Itulah bagaimana saya memperlakukan wanita-wanita yang saya temui. Wanita adalah pelarian saya dari rasa sakit ditolak wanita juga. Jadi setiap kali ditolak dan move on beban pelarian itu bertambah. Dibumbui oleh luka masa kecil, cara saya mencintai wanita semakin jauh dari semestinya.

Coba mengingat-ingat siapa saja dan bagaimana saya mencintai dada serasa diaduk-aduk. Percintaan saya bermula waktu kelas 1 SD. Saya suka dengan siswi paling pintar di kelas. Dulu saya menggambarkan wajahnya seperti Desy Ratnasari. Selama 6 tahun saya menyimpan rasa. Pernah kami dijebak, dikunci berdua waktu ngepel kelas. Ingatan saya masih segar waktu dia dengan tenang menabur ampas kelapa ke lantai, sementara saya menarik-narik pintu seperti dikejar hantu.

Jenjang pendidikan berikutnya tiba, giliran siswi satu kelas berambut hitam, panjang, lurus, yang duduk di bangku belakang saya. Dia ramah dan mudah berteman. Perasaan saya tersampaikan berkat bantuan seorang sahabat. Sayangnya, di depan semua warga kelas dia menjawab, “Ora sudi!” sambil ketawa. Saya langsung keluar dan menangis. Kami tidak saling bicara hingga penghujung tahun ajaran. Diakhiri olehnya dengan pertanyaan apakah saya akan datang di acara perpisahan.

Naik kelas 2 SMP saya terpikat seorang siswi berparas manis yang kalau jalan seperti model catwalk. Ada momen dia mengambilkan benda milik saya. Cinta kembali mendatangi hanya di satu sisi lagi. Saya berdoa selama setahun untuk bisa menjadi kekasihnya. Ya gak ada perubahan apa-apa karena yang saya lakukan cuma membayangkan. Tak ada usaha mendekat atau mencari tahu yang dia sukai. Saya belum tahu kalimat, “Kegilaan adalah menginginkan perubahan tapi mengupayakan dengan cara yang sama.”

Kemudian tiba kelas terakhir SMP pikiran saya mulai kacau. Saya mulai ragu dengan cinta yang datang saat itu. Kadang bilang suka si A, di lain waktu bilang suka si B. Kekecewaan menumpuk. “Tidak ada gadis yang mau sama saya,” pikir saya waktu itu. Anak laki-laki tanpa kemampuan apa-apa. Hobi baca komik, menonton televisi, bodoh dalam olahraga, sering dikerjai, nilai akademik biasa saja. Siapa yang mau sama saya?

Lanjut ke SMA saya menyukai 3 gadis dalam satu tahun ajaran. Saya makin mudah bergaul tapi tidak berhasil menggaet satu perempuan juga. Seorang teman bilang selera saya ketinggian. Ya memang benar sih, kalau dicermati saya suka dengan gadis-gadis high-profile dan diperebutkan banyak orang. Cuma itu tidak disengaja. Sudah default saya begitu. Sayangnya kontradiktif tahu diri ini gak adorable dan keinginan tinggi, tapi saya letoy berusaha. Ya sudah akhirnya jadi korban perasaan sendiri.

Era baru cerita percintaan saya dimulai waktu kelas 2 SMA. Saya kenal seorang gadis sebut saja Matilda. Adik kelas yang suka dengan sahabat saya. Matilda sering curhat tentang apa saja hingga saya menyukainya. Dia memutus pertemanan setelah tahu perasaan saya. Sejak saat itu saya kenal dengan perpisahan. Kelas 3 SMA saya kacau. Matilda jadian dengan sahabat saya beberapa bulan. Selama setahun kering hati saya.

Frustrasi, saya pun mencari wanita lain sebagai pelarian. Ada satu orang yang dekat karena sering telepon. Dia saya tembak dan mau jadi pacar. Baru sekali jalan saya langsung ingin putus. Kacau dengan segala hal yang tidak pernah saya temui. Dipeluk, diperhatikan, dia menunjukkan sikap manja, dan sebagainya. Saya tidak tahu harus bagaimana dan hingga sekarang tidak pernah terselesaikan. Saya pergi tanpa meninggalkan penjelasan sedikit saja.

Itu kali pertama kali dan terakhir saya menjalin hubungan romantis dengan seorang wanita.

Jenjang perkuliahan niat saya mencari pasangan untuk menikah. Rae adalah perempuan kedua yang saya sukai di masa itu. Sebelumnya seorang gadis Jakarta yang ramah, supel, dan cantik oriental. Kesan saya waktu itu ya hanya suka-suka saja, tapi berani bersaing dengan kakak tingkat. Semangat mencari pasangan yang saya idam-idamkan. Ya tapi gagal karena dia suka dengan teman saya. Singkat cerita saya beralih kepada Rae yang suka sama kakak tingkat, yang suka dengan Si Gadis Jakarta.

Berkaca dari semua cerita di atas saya menemukan kriteria wanita idaman: ramah, cerdas, dan dari keluarga kaya. Semua wanita yang saya sukai keluarganya berada. Itu seperti program di pikiran bawah sadar. Rae kebetulan wanita yang memiliki kesan paling banyak dalam hidup saya—untuk saat ini. Saya merasa ada yang salah. Satu contohnya saya ceritakan dalam Candu dan Cinta. Kejanggalan lain adalah ego terprogram hanya Rae yang akan saya terima jadi pasangan hidup.

Selama belum bisa mengendalikannya, bayang-bayang Rae dan yang lainnya akan terus mengganggu.

Cinta yang dewasa action-nya membangun kebaikan bersama. Saya perlu menyelami batin benar-benar demi cinta semacam itu. Ego perlu dididik untuk menerima seseorang yang sungguh mencintai saya. Wanita-wanita yang saya sukai adalah tempat bercermin. Nafsu saya tertarik pada wanita seperti apa dan hati memilih yang bagaimana keduanya berbeda. Hati saya memilih wanita yang tegas dan kuat. Pilihan yang menantang dan menyuruh saya banyak belajar.

Rae memiliki dua sifat itu ditambah ramah, cerdas, dan dari keluarga kaya.

Wajar jika dia tampak sempurna. Saya puja-puja seolah tidak ada yang lebih dari dia. Soal memuja ini sepertinya sifat bawaan orang tua. Memuja wanita. Saya lemah terhadap wanita. Sisi baiknya saya mudah mengalah dan menghargai sosok wanita dalam diri mereka. Sisi buruknya saya gampang tergoda penampilan dan saat berbeda keinginan dengan yang dipuja, emosi auto triggered. Kata memuja mungkin belum pas menggambarkan cara pandang saya terhadap wanita.

Menuhankan lebih suai.

Saya lebih sering ingat wanita-wanita tadi daripada Tuhan. Ketika takdir tidak berjalan sesuai harapan wanita yang saya ingat untuk kembalikan semangat. Saya merasa terisi kembali tapi sementara. Akhirnya saya mengingat-ingat terus agar tetap semangat. Hasilnya semangat ngotot bukan ngotak. Semangat maksa bukan mencari cara. Ya pasti begitu orang dari hawa nafsu. Jadi saya telah melakukan kesalahan dengan menempatkan wanita sebagai objek.

Makin dewasa bayang-bayang masa lalu semakin kuat mencengkeram. Saya merasa dikendalikan naluri kehewanan yang inti dorongannya tidak jauh dari menghindari ancaman dan mencari kenikmatan. Perilaku mencintai wanita jadi lebih dekat pada keinginan nafsu. Memaksakan sesuatu entah itu pendapat, perintah, sudut pandang, hingga kontak fisik. Cinta memang mengawali dorongan itu tapi tanpa kehangatan jadi sulit dirasakan.

Para wanita tadi jadi sulit melihat saya sebagai lelaki.

Ingin saya kalau cinta ya jadi istri. Keinginan manusia lemah yang tidak mampu menebak takdir Sang Pencipta. Ternyata takdir tentang Rae berjalan tidak seperti yang saya harapkan. Bertahun-tahun saya menutup mata dari kenyataan bahwa saya dan dia tidak berjodoh. Seberkesan apa saat-saat bersama Rae semua itu hanyalah potongan waktu. Indah, karena momen-momen itu mewujudkan keinginan paling dalam saya diperlakukan sebagai lelaki.

Rae jadi saya perlakukan seperti tuhan.

Pemberhalaan kepada manusia karena pernah sesuai dengan hawa nafsu saya. Ya saya telah melakukan kesalahan. Memang Rae sosok selebriti yang di mana-mana menarik perhatian orang. Mengidolakannya as a good person wajar, tapi kalau sampai tergila-gila something must be recognized. Saya memandang sesuatu tidak sesuai hakikatnya. Rae wanita, saya laki-laki, kami berdua manusia. Tidak bisa mengatur takdir meskipun kami sangat menginginkannya.

Cinta mengawali segala bentuk pergerakan di alam semesta ini. Meskipun kita menolaknya cinta tetap akan ada mengisi udara gaib di ruang materi jagad raya. Rae dan saya bertemu atas cinta Yang Maha Kuasa bukan sebagai pasangan. Saya yang berpikir kalau cinta ya harus jadi istri. Kenyataannya itu hak masing-masing untuk memutuskan. Semoga saja Rae dan saya menemukan saat di mana masa depan dan masa lalu bertemu. Saat di mana segala hal tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang terpisah.

Saat di mana kami menemukan kebenaran.

If I could change I would take back the pain

I would retrace every wrong move that I made.

-Easier to Run by Linkin Park-

Rumah Pecah, 22 November 2020

Bersambung…

Photo : https://www.tofugu.com/japan/japanese-idols/

Leave a comment