Dua Kehilangan

Beberapa hari ini pekerjaan memburu untuk diselesaikan. Jasa legalisir ijazah Mas Beres pun juga sedang lumayan orderan. Ada beberapa yang ngendon namun mereka juga santai. Ya ini sikap yang tidak benar juga sih, mengulur penyelesaian pesanan karena kesantaian pelanggan. Namun, motivasi saya memang sedang diuji. Tidak dipungkiri bulan Mei adalah bulan di mana saya mengalami banyak perpisahan selama 2 tahun ini. Tahun ini pun bulan Mei menjadi bulan menyebalkan karena ada dua orang terlepas dari hidup saya.

Pertama, saya harus melepaskan harapan kepada Nacita. Belakangan ini saya mendapatkan kabar kalau ia akan segera menikah. Haha, ini sebenarnya bukan kabar yang terlalu mengagetkan. Saat mendengarnya pun reaksi saya sebenarnya antara senang, lega, sekaligus marah dan sedih. Makanya setelah membaca kabar itu saya langsung memainkan gitar. Lucunya adalah saya menangis, kemudian tertawa, lalu menangis lagi dan tertawa lagi saat menyanyikan lagu entah itu.

Emosi saya sangat dinamis waktu itu, hingga saya sendiri tidak tahu ada apa dengan diri saya.

Satu hal yang saya tahu sekarang adalah sudah tidak boleh mengharapkan Nacita. Niat untuk mencintai harus dinetralkan dan dipindahkan kepada perempuan lain. Pertanyaannya, siapa? Entah, pasti nanti ada dan datang di saat yang tepat. Kekosongan ini dinikmati saja, walaupun sebenarnya pahit juga rasanya. Namun karena kepahitan itu saya jadi belajar lagi untuk lebih menurunkan ego. Setidaknya jangan terlalu meminta perempuan yang begini begitu.

Cari perempuan yang apa adanya saja.

Kedua, jumat kemarin saya dikabarin ayah seorang teman akrab meninggal. Saya sedikit kacau karena beliau adalah orang yang ingin saya banggakan. Saya juga berencana mengunjungi beliau kelak saat akan menikah, untuk memohon restu. Namun ternyata Tuhan memiliki keputusan untuk menghentikan napas raganya tanggal 5 Mei 2017 pagi. Saya jadi hanya bisa mendoakan beliau agar amalnya diterima Tuhan dan dosa-dosanya diampuni.

Beliau ini, walaupun tidak banyak momen pembelajaran, namun sudah menganggap saya seperti anaknya sendiri. Saya bahkan belajar naik motor bersama beliau. Dulu saat akan masuk SMA saya juga mendapatkan bantuan kemudahan dari beliau. Rasanya banyak hutang saya kepada bapak berinisial ASH ini. Keluarganya juga sangat baik kepada saya. Setiap lebaran, saat masih SMP/SMA dulu saya selalu mendapatkan bingkisan.

Saat membaca kabar bahwa beliau meninggal, saya tidak tahu harus menangis atau bagaimana.

Perasaan saat itu masih kacau dan hati saya cenderung menutup. Rasa kehilangan Nacita belum terobati kemudian ditimpa kehilangan lagi. Rasanya satu per satu tulang dilucuti dari badan saya. Apalagi melihat anak beliau, teman akrab saya sejak SMP sangat sedih, diri ini tidak mampu menghibur. Setiap kata yang ingin keluar tertahan dan menyesakkan tenggorokan. Entah, namun saya tidak ingin semua itu menjauhkan diri dari Tuhan.

Beberapa waktu ini saya hanya bisa mengatur ritme hidup agar tidak keluar dari harmoni.

Ritme hidup saya bisa dibilang cukup santai. Saya menjalani apa yang bisa dijalani. Semua ideal untuk hidup berkarir saya lepaskan. Omongan orang lain coba saya abaikan. Mereka harus paham kondisi sebelum mulai mengintervensi pemikiran saya. Kondisi di mana tidak ada satu anggota keluarga yang bisa dipercaya menjaga Ibu dan Simbah. Saya harus sadar diri ini terikat dengan kebutuhan keluarga. Kebutuhan keluarga sekarang adalah untuk ditemani.

Ide dalam benak saya adalah mencari seorang istri.

Ide itu berbenturan dengan ideal yang saya adaptasi dari orang-orang: bekerja sebelum menikah. Bekerja ini saya artikan memiliki suatu kedudukan tertentu dalam sebuah instansi. Saya tipe penjudi yang suka berhadapan dengan kemungkinan. Jadi menetap di suatu posisi dengan tugas dan SOP sama selama beberapa tahun, bukan tantangan untuk saya. Bahkan dengan gaji berkali lipat dari kebutuhan bulanan, tidak mampu membayar waktu yang bisa saya gunakan untuk keluarga.

Selain kebebasan yang selalu saya usahakan, alias tidak terikat.

Tidak terikat, ini juga salah satu yang membuat saya sulit berhubungan dengan orang lain. Sudah banyak cerita tentang Nacita yang sebenarnya berakhir hanya karena saya tidak ingin terikat. Pun dengan Pak ASH saya merasa insecure ketika dulu ditawari agar kalau ada apa-apa minta saja. Jujur saja saya tidak pernah mendapatkan perhatian sebesar itu dari keluarga Simbah. Saat itu saya pun menolak dengan halus dan jadi enggan datang ke rumah beliau.

Ada harga diri yang tidak mau diperlakukan seperti orang kecil, ada egoisme yang tidak mau terikat perhatian dengan seseorang. Saat kehilangan dua orang di bulan Mei ini, saya semakin sadar harus menurunkan egoisme itu. Harga diri saya memang tinggi dan sulit diperangi. Namun, egois melebih membuat saya menderita karena itu yang menghasilkan rasa kesepian dalam diri. Egoisme itu juga yang membuat saya sulit menerima kebaikan dari orang lain.

Pelan-pelan semua tembok mental harus saya kikis.

Kehilangan dua orang di bulan Mei ini adalah pengingat agar saya lebih sadar. Sadar bahwa diri ini hanya akan menjalani pola yang tidak jauh berbeda. Masing-masing teman meninggalkan satu demi satu. Punya pasangan lalu meninggal dengan membawa amal perbuatan. Satu riwayat kalimat bijak yang terus saya coba integrasikan ke dalam pikiran: berbuatlah sesukamu di muka bumi ini, tetapi ingatlah suatu saat kamu pasti mempertanggungjawabkanya; cintailah siapa pun yang ingin engkau cintai, namun ingatlah suatu saat engkau akan meninggalkannya.

Seolah kalimat itu memaksa saya agar selalu sadar terhadap segalanya.

Sadar akan apa yang telah terjadi dan akan terjadi. Kemarin saat berkendara motor saya teringat satu kalimat juga: yesterday is history, tomorrow is mistery, and today is a gift. Kalimat Master Oogway dari film Kung Fu Panda itu selama ini saya artikan agar tidak mengikat diri dengan masa lalu dan masa depan. Namun kemarin satu ilham muncul saat sampai di Panggung Motor: justru agar sadar terhadap hari ini (here and now), saya harus sadar keterikatan saya dengan masa lalu dan masa depan.

Bukannya berpura-pura saya telah mengikhlaskan masa lalu dan pasrah terhadap masa depan. Dua kualitas ikhlas dan pasrah itu tidak mampu saya ciptakan. Pun selama masih terus menipu diri dua kualitas itu tidak mungkin saya dapatkan. Pengalaman saya menunjukkan kalau segala kualitas batin akan masuk ke dalam hati tatkala jujur pada diri. Itu di luar kuasa saya sebagai manusia. Tuhan yang mampu menelusupkan unsur-unsur surgawi itu.

Dua kehilangan ini bukan akhir dari segalanya. Bahkan andaikata kehilangan yang lebih besar lagi itu hanya bagian dari kehidupan. Saya hanya bisa melakukan apa yang Tuhan perintahkan. Ide dan intuisi saya yang menembak peluang, dan keberanian yang datang karena keyakinan. Masa lalu telah saya dapatkan dan masa depan saatnya menjelang. Jalani saja dengan sabar dan tidak banyak menuntut Tuhan untuk keinginan.

Jika niat kita baik, tidak ada yang perlu ditakutkan.

 

Perpustakaan UNS, 16 Mei 2017

Leave a comment