Laki-laki di Persimpangan

Seandainya aku kawin dengan dia, apakah aku bisa cocok dan bisa hidup bersama dengan orang yang bakal menjadi istri/suami itu dalam suatu rumah tangga?

Rumah tangga, dua kata benda yang digabung jadi satu. Rumah memiliki makna seperti bungkus yang melindungi isinya. Rumah dapat diartikan pula warna suatu kumpulan atau tempat, yang mampu menenteramkan hati orang-orang di dalamnya. Tangga adalah kendaraan untuk naik atau turun, tergantung orang yang memakainya, dinamis saja. Jadi rumah tangga memiliki dua makna esensial dinamis dan menenteramkan.

Tulisan ini berawal dari tagline di atas, pertanyaan yang tercantum dalam buku Marriage Counseling tulisan Nasarudin Latif. Kegelisahan yang muncul karena banyak hal harus dipertimbangkan sebelum melangkah. Melangkah bersama seseorang yang akan jadi pasangan seumur hidup. Bagaimana menggabungkan dua wilayah ego mencapai keseimbangan. Bagaimana mencari titik temu di antara dua pribadi yang berlainan kepentingan.

Kegelisahan seorang lelaki di perbatasan usia 30 yang mencoba berkompromi dengan hidupnya. Apa saja ‘warisan’ yang dibawanya dan harapan yang dipegangnya. Ekspektasi dan realita yang tarik menarik ke arah berlawanan. Membuat ketegangan di alam pikir yang semakin tidak kuasa menahannya. Lelaki itu merengkuh semua kegelisahan itu ke dalam empat wadah. Empat wadah yang lelaki itu imajinasikan sebagai persimpangan.

 

Persimpangan 1: Ketakutan

Di persimpangan pertama lelaki itu meraih rasa takutnya. Segala pikiran yang membuatnya siaga terhadap apa yang akan terjadi. Kehidupan yang akan berganti setelah ikrar pernikahan diucapkan. Apa yang lelaki itu panggul akan bertambah. Begitu pula dengan kasih sayang dan cinta yang diterimanya. Lelaki itu mencoba siap dengan apa yang dia takutkan. Sebab terkadang ketakutannya tidak sebatas ketakutan. Usaha sang lelaki untuk mencoba berdamai dengan pikirannya.

Menikah jelas ia inginkan, namun amanah yang bertambah membuatnya ingin lari dari kehidupan. Seperti matahari yang enggan lagi menyinari karena takut terbakar. Lelaki itu memahamkan diri bahwa menikah tidak hanya sekadar mencari makan. Membangun rumah tangga adalah membentuk peradaban dalam sebuah keluarga. Hanya saja ia tidak sanggup melakukannya sendirian. Ia butuh teman yang memiliki satu tujuan.

Teman yang dimaksud di sini tentu adalah pasangan. Pasangan yang telah menyamakan visi dan sepakat untuk menghabiskan sisa waktu kehidupan. Lelaki itu takut pasangan itu tidak bisa selamanya mendampingi. Pikirannya terpukau oleh kehilangan, yang bagi sebagian orang wajar. Lelaki itu memiliki pikiran yang berlainan dari kebanyakan. Keadaan itu membuatnya tertekan dan mengharap benar-benar akan pasangan.

Meskipun ia juga sangat takut memilikinya.

 

Persimpangan 2: Kebutuhan

Persimpangan kedua ini membuat lelaki ‘memukuli’ ketakutannya. Ia ingkari ketakutannya sendiri demi meraih kebutuhan yang semakin menyiksa diri. Sang lelaki itu paham apa yang ia cari. Ia hanya tidak paham bagaimana agar halus dalam mencari. Mencari pasangan tidak seperti mencari barang di toko langsung beli. Pasangan juga manusia yang memiliki pikiran sama halnya dengan si lelaki. Pasangan juga memiliki ego yang harus ia taklukkan demi memperbaiki diri.

Sayang lelaki mungkin tidak bisa berpikir rinci seperti perempuan. Ia berpikir hanya tentang ujung dan pangkal. Ia tidak banyak memikirkan wilayah di antaranya. Egois memang, namun semua yang lelaki pikirkan adalah bagaimana mengawali dan mengakhiri. Perempuan memikirkan bagaimana menjalani di antara awal dan akhir. Buat sang lelaki, itulah arti dari saling melengkapi. Namun sayang mungkin ia terlalu mendambakan, hingga akhirnya terpaksa merasakan kehilangan.

Laki-laki kesepian akan selalu mencari pertarungan. Perempuan kesepian akan selalu mencari pelarian. Bila mereka disatukan dalam ikatan pernikahan mungkin bisa mengecilkan risiko kejahatan. Sang lelaki tidak butuh lagi yang namanya pertarungan, sebab perempuan di sampingnya akan menenangkan. Sang perempuan tidak butuh lagi pelarian, sebab lelaki di sampingnya siap menanggung semua kesalahan. Keduanya terpayungi dalam instansi bernama marriage atau pernikahan.

 

Persimpangan 3: Lingkungan

Persimpangan ketiga terhubung dengan wilayah kehidupan sang lelaki dengan orang-orang di sekitar. Sang lelaki menyadari teman-temannya telah melangkah jauh di depannya. Ada sih teman yang masih senasib sepenanggungan, namun sang lelaki sadar itu  hanya sementara. Kelak temannya yang masih setia kepada dirinya akan berpindah setia kepada orang lain. Lalu sang lelaki kembali meratapi kesendirian dan perlahan berharap akan kematian.

Teman-temannya telah memiliki peran di mana-mana dan sang lelaki tetap berada di tempat asalnya. Ia ingin berkelana namun tidak cukup berani meninggalkan orang tua. Beruntung lingkungan memaksanya keluar dari sempitnya pikiran hingga akhirnya berani menerima kenyataan. Kenyataan bahwa ia tertinggal karena terus bercumbu dengan kenangan. Sebuah sikap yang diturunkan orang tua dengan rasa kepemilikian begitu kuat.

Sang lelaki selalu berharap kelak bisa seperti teman-temannya. Membina keluarga dan menjadi contoh untuk teman-temannya. Sang lelaki berharap bisa lebih banyak menolong bila ada pasangan. Lelaki sadar lingkungan membutuhkannya untuk melakukan perubahan. Tanpanya, mungkin perubahan itu tidak sekuat bila ia ikut terlibat. Ada banyak hal yang lelaki itu ingin bagi kepada lingkungannya. Dia ingin mati setelah semaksimal mungkin berguna bagi sesama.

 

Persimpangan 4: Keluarga

Persimpangan terakhir, yang paling berat menurut sang lelaki. Keluarga memiliki semua harapan yang tergantung di langit-langit rumah. Setiap akan tidur keluarga berdoa agar harapan-harapan itu terkabul. Sang lelaki tahu harapan keluarganya yakni demi kenyamanannya. Namun, dia tidak mencari kenyamanan dalam pernikahan. Ia sadar pernikahan hanyalah langkah awal kematian. Tahapan hidup untuk mencukupkan separuh keyakinan yang tersisa setelah dilangsungkannya ikrar pernikahan.

Hidup mapan dan nyaman bukan tujuan. Sang lelaki tahu tidak bisa selamanya menikmati kemapanan. Waktunya terbatas dan karena itulah ia ingin sesuatu yang abadi. Tuhan tidak menjadikan manusia untuk menempati dunia ini. Tuhan menciptakan manusia untuk menempati dimensi yang abadi. Mati adalah pintu gerbang menuju dimensi abadi. Sang lelaki tidak ingin hidupnya dihabiskan mengejar sesuatu yang hanya bisa dicecap sesaat lalu hilang.

Sang lelaki hanya ingin membahagiakan ibunya dengan menjadi berguna bagi sesama.

 

Persimpangan, adalah tempat untuk merenungi masa lalu dan masa depan. Sang lelaki bergumul dengan dirinya, menarik keluar segala yang belum diakuinya. Ketakutan vs kebutuhan dan lingkungan vs keluarga, lelaki mencoba rangkul semuanya. Bagaimana pun ia tidak mungkin melalui keempat persimpangan dalam satu waktu. Sang lelaki harus membagi waktu dan pikirannya untuk menjawab satu demi satu. Sambil terus berharap bertemu pasangan yang diciptakan Tuhannya dari tulang rusuk.

Hidup tidak ada yang berubah sejak dulu. Manusia menghuni bumi, dari yang tadinya berpenduduk dua orang kini berlipat hingga sepuluh miliar. Tidak semuanya akan mendapatkan apa yang diinginkan. Namun mereka akan tetap mendapat yang dibutuhkan. Sebab itu, hidup tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan. Ada sesuatu yang harus diperjuangkan, ada sesuatu yang harus dijaga. Moral dan peradaban yang bertumpu pada kebaikan dan cinta kepada Tuhan.

3 thoughts on “Laki-laki di Persimpangan

    1. dkcappucino: kalau cara pandang laki-laki secara keseluruhan saya tidak tahu. pertanyaan pernikahan akan dijawab tergantung keyakinan yang ada dalam hatinya saat itu. keyakinan itu pun bisa berubah seiring pemahamannya yang berkembang.

      Like

Leave a comment